Manjaniq.com--Beratnya
beban kehidupan dan ragam amanah yang ditanggung oleh seorang akhawat bisa saja
berbeda satu sama lain. Ujian iman dan keistiqamahan yang mampir dalam
penggalan episode kehidupan masing-masing pun bisa bermacam-macam.
Ketika
dihadapkan pada suatu kondisi atau situasi tertentu, seorang akhwat bisa
memiliki tingkat ketegaran dan ‘daya tahan’ yang bisa saja berbeda satu sama
lain. Akhwat A, misalnya, dalam kondisi tidak memiliki motor, ia siap
‘ngonthel’ menempuh puluhan kilometer untuk bisa mengikuti sebuah kajian Islam
dalam memenuhi kewajiban thalabul ilmy-nya.
Pun
akhwat B, yang sibuk dengan aktivitas dakwah, membina sekian banyak halaqah,
ditambah tugas kuliah yang menumpuk. Belum lagi amanah sebagai seorang anak
yang harus ber-birrul walidain. Tanpa stamina iman dan mental ‘berjuang’,
rasanya sulit untuk bertahan dan menjalaninya dengan nyaman.
Atau,
ummahat C yang dalam keadaan hamil tua, harus menjadi ‘single mom’ untuk kelima
anaknya, karena suami harus menunaikan tugas iqamatuddin dalam jangka waktu
yang tak bisa ditentukan. Membayangkan saja sepertinya repot dan berat.
Are
you strong enough?
Menjadi
seorang muslimah yang memilih dakwah dan perjuangan sebagai bagian dalam agenda
besar kehidupanyna, tentu tak bisa menuruti kemanjaan dirinya. Apalagi
bercengeng-cengeng ria dan larut dalam perasaan emosionalnya. Berbagai masalah
yang mampir semestinya ia hadapi dengan tangguh dan optimis. Yakin akan
pertolongan Allah dan bermental baja. Tidak mudah berputus asa serta tidak
menyalahkan keadaan.
Fulanah
misalnya, setiap menghadapi kerepotan-kerepotan berkaitan dengan tugas
domestiknya dalam rumah tangga, sering kali ia menyalahkan suami yang tidak
cukup punya banyak waktu untuk membantunya. Hal ini dikarenakan sang suami
harus menghajatkan sebagian besar waktunya untuk kepentingan dakwah dan
iqamatuddin. Tak jarang ketika menghadapi kerewelan dan tangisan sang anak yang
masih balita, ia juga turut menangis putus asa. Pun ketika cucian menumpuk,
rumah berantakan atau suami yang pergi pagi, pulang petang, bahkan kadang tak
kunjung pulang. Ia sering kali menangis dan kecewa pada keadaan.
Padahal,
sebagai seorang pendamping sosok rijal yang berjuang menegakkan din, seharusnya
seorang istri bisa bersikap layaknya pejuang yang tak kenal lelah dan putus
asa. Yakin bahwa dakwah dan iqamatuddin merupakan bagian dari idealisme
pernikahan dan rumah tangga yang ia bina. Ia sadar, ia berbeda dengan
‘istri-istri’ lain pada umumnya.
Ia
juga percaya, bahwa tetesan keringat dan kepenatan yang ia rasakan dalam
mendampingi sang suami, bernilai besar di sisi Allah. Innallaaha laa tukhliful
mii’aad, Allah tidak mungkin ingkar janji. Baginya akan ada pahala dan balasan
yang menanti. Sabar dan tegar. Itulah pilihan sikapnya dalam menjalani hidup
sebagai istri pejuang.
Belajar
dari Ibunda Hajar
Kisah
ibunda Hajar seharusnya menginspirasi para akhawat untuk bersikap tangguh
menghadapi ujian yang datang. Sosok istri Nabi, sekaligus ibu dari seorang
Nabi, yang telah menunjukkan kekuatan iman juga ketegaran yang luar biasa.
Nabi
Ibrahim alaihissalam meninggalkan ibunda Hajar di sebuah padang pasir yang
tandus. Tak ada air. Tak ada seorang pun yang menemaninya, selain Ismail kecil
yang saat itu masih menyusu pada ibunya.
Nabi
Ibrahim hanya membekali keduanya dengan satu kantong kurma dan satu bejana
berisi air. Kemudian Nabi Ibrahim pergi meninggalkan mereka. Hajar lalu
mengejarnya dan bertanya, “Wahai Ibrahim, kemana engkau akan pergi? Apakah
engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada siapapun dan tidak ada
apapun?” Hajar terus mengulang-ulang ucapannya dan mengejar Nabi Ibrahim.
Karena tak kunjung ada jawaban, Hajar pun bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan ini
kepadamu?” “Ya,” jawab Nabi Ibrahim. Kemudian, Hajar berkata lagi, “Kalau
begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami,” ucapnya dengan yakin.
Sementara
itu, ibunda Hajar tetap menyusui anaknya dan minum dari air yang telah
diberikan Nabi Ibrahim. Sehingga, ketika air yang ada dalam bejana itu telah
habis, ia merasa haus dan begitu pula anaknya. Hajar merasa iba melihat Ismail
yang kehausan. Ia kemudian pergi dan berusaha untuk mencari air. Ia pun naik ke
bukit Shafa, sebuah bukit yang terdekat. Lalu ia melihat sekeliling lembah dari
atas bukit itu, sekiranya ia menemukan air. Tetapi ia tidak melihat air.
Kemudian
ia turun dari bukit Shafa dan berlari-lari menuju bukit Marwa. Ia berdiri di
atas bukit dan mengarahkan pandangannya ke sekelilingnya jikalau ia melihat
air, tetapi ia tidak juga menemukannya. Hajar pun melakukan hal itu hingga 7
kali. Sungguh sebuah sikap yang tak kenal lelah dan mudah menyerah! Hingga
akhirnya, dengan kekuasaan Allah, terpancarlah mata air zam-zam dengan
derasnya. Keyakinan ibunda Hajar menjadi nyata, Allah tidak akan menyia-nyiakan
dirinya dan anaknya.
Kekuatan
iman dan mental akan berpadu, melahirkan sikap sabar dan tangguh dalam
menghadapi ujian hidup. Tak hanya ikhwan, akhwat pun juga harus bermental juang
tinggi. Bukan mental yang cengeng, banyak mengeluh, berkeluh kesah, selalu
menyalahkan keadaan/orang lain dan mudah menyerah. Ayyuhal akhawat, keep
fighting!(Ummu Aman)
Tidak ada komentar