Manjaniq.com--Dalam
perjalanan sejarah, Pasal 156 yang merupakan turunan dari hukum pidana buatan
kolonial Belanda hanya mengatur penistaan terhadap golongan dan tidak mengatur
terhadap agama.
Saat
itu, Indonesia tengah di bawah penjajahan Belanda. Sehingga, pusat pergerakan
kemerdekaan saat itu dimulai di surau, pesantren dan masjid. Oleh Belanda, kaum
agamawan dinyatakan teroris.
“Pejabat
pemerintah Belanda sering menghina agama dan kaum agamawan. Oleh karena itu,
pada mulanya pasal 156 tidak menyebut agama, karena jika ada mereka kena
duluan,” ujar Teuku Nasrullah, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia
dalam ‘Diskusi Publik: Kasus Ahok Nista Islam dalam Perspektif Hukum Pidana’ di
Rumah Amanah Rakyat, Menteng, Jakarta pada Kamis (10/11).
Kemudian,
Nasrullah bercerita pada era pasca kemerdekaan terjadi sebuah kasus di wilayah
Purwakarta. Di situ ada gudang milik PKI. Oleh seorang anggota PKI, buku-buku
dan Al-Quran saat itu hendak dipindahkan dan dimasukkan ke dalam karung.
“Agar
lebih padat, buku-buku itu termasuk Al-Quran diinjak pakai kaki. Saat itu warga
yang melihat merasa resah dan mengadukan pada pemerintah telah terjadi adanya
penistaan terhadap Al-Quran,” kata Nasrullah.
Sementara,
pemerintah dan peranggkat hukumnya belum ada. “Istilahnya ada kekosongan hukum.
Karena tidak ada pasal penistaan agama. Tapi ada desakan masyarakat yang sangat
kuat, tambahnya,” kata dia.
Akhirnya,
Presiden Soekarno menetapkan PNPS No 1 tahun 1965. Diselipkan jadi pasal 156 a.
Sehingga, anggota PKI yang menista Al-Quran itu dibawalah kasusnya ke
pengadilan. Meskipun, ia mengaku tidak ada unsur kesengajaan dalam kasus
tersebut.
“Saat
itu, dia bilang saya tidak sengaja berniat menista agama. Tapi dia dihukum.
Karena kesengajaan disini dalam maksud patut diduga tindakannya dapat
mengacaukan ketertiban umum,” tukas dosen hukum pidana UI ini.
Reporter:
Fajar Shadiq
Tidak ada komentar