Manjaniq.com--Jihad
bukan syariat yang berdiri sendiri. Ia merupakan ‘produk’ turunan dari pokok
masalah yang menjadi spirit dasar ajaran Islam.
Karenanya
melihat jihad tanpa memahami spirit yang mendasarinya akan kehilangan gambar
utuhnya. Jihad bukan hanya soal kekerasan yang menjadi potret luarnya. Tapi ada
nilai luhur yang terkait erat dengan inti agama Islam.
Spirit
dasar yang membingkai jihad adalah harga diri dan kemuliaan (izzah). Pertama,
kemuliaan Allah. Kedua, kemuliaan dan harga diri Islam. Ketiga, kemuliaan dan
harga diri umat Islam, hamba Allah yang dicintai-Nya.
Kemuliaan
Allah menjadi sumber semua kemuliaan. Tak ada kemuliaan tanpa dikaitkan dengan
kemuliaan Allah.
Allah
Maha Kuasa, Pencipta dan Maharaja Alam Semesta. Ketika presiden yang manusia
dan memimpin satu negara saja dilindungi oleh UU anti penghinaan sebagai bagian
dari penjagaan wibawa pemerintah, maka sangat masuk akal bila Allah juga minta
dijaga kemuliaan-Nya. Sudah sewajarnya Allah menetapkan standar kemuliaan dan
penjagaan kewibawaan yang paling tinggi.
Ketika
ada yang menghina presiden, aparat keamanan bertindak untuk menangkap dan
menghukumnya. Sama juga ketika ada yang menghina Allah atau melakukan apapaun
yang membuat Allah murka, hamba-hamba Allah yang akan bergerak cepat
menindaknya. Mekanisme penindakan dengan kekuatan ini disebut jihad. Suatu
logika yang sangat sederhana.
Sumber
kemuliaan kedua, Islam. Ajaran Islam sebagai UU dari Allah juga harus
terlaksana dengan baik. Jika tak terlaksana, harus ada mekanisme untuk
memaksanya agar kedaulatan Allah berlaku di muka bumi. Sama halnya dengan
mekanisme untuk memaksa UU buatan manusia demi kedaulatan negara. Selalu
ujungnya adalah kekuatan memaksa, yang direpresentasikan dengan keberadaan
polisi dan tentara. Dan itu artinya paksaan dengan kekerasan. Logika yang juga
sederhana.
Dan
sumber kemuliaan ketiga, umat Islam. Hamba Allah pantang untuk dihinakan musuh
Allah. Sedangkan alat terbaik untuk tujuan itu adalah kekuatan jihad, bukan
negosiasi yang pada akhirnya mengalah terhadap tekanan musuh Allah dan mundur
dari garis batas prinsip yang seharusnya tak boleh mundur.
Jihad
hanya terjadi jika ada tekad kuat hamba Allah untuk memuliakan Allah, Islam dan
menjaga kehormatan umat Islam. Ketika umat Islam tak punya komitmen menjaga
harga diri Allah, Islam dan umat Islam, maka mereka tak akan pernah melirik
jalan jihad. Sebab apapun tantangan yang dihadapi selalu diseselasikan secara
persuasif, negosiasi dan manuver politik – istilah halus untuk kekalahan dan
menerima kehinaan.
Dan
demokrasi menjadi wahana penyemaian karakter siap kalah, pluralisme, negosiasi
dan manuver politik. Selagi umat Islam mencintai demokrasi dan meniti jalannya,
tak akan pernah bisa memahami jalan jihad dan terbersit untuk menitinya.
Jihad
hanya terjadi bila dua kekuatan tak ada yang mau mengalah, kekuatan kufur vs
kekuatan iman. Kesiapan negosiasi untuk hal-hal prinsip dalam Islam bermakna
kekalahan dan kehinaan. Kerelaan melakukan dan menerimanya berarti menutup
pintu jihad. Jihad adalah konfrontasi untuk mempertahankan prinsip dan harga
diri. Jalan yang sebangun dengan spirit kemuliaan Allah, Rasul-Nya, ajaran
Islam dan umat Islam.
Umat
hanya punya dua pilihan jalan; demokrasi atau jihad. Mustahil orang meniti
keduanya sekaligus karena keduanya memiliki karakter dasar yang kontradiktif,
bukan komplementer.
Demokrasi
menjadi payung indah untuk melegitimasi kekalahan dan kelemahan umat, dengan
jargon menghargai perbedaan dan kebebasan berpendapat. Padahal makna hakiki
dari jargon tersebut, membiarkan diri lemah tak mampu menghentikan kesesatan.
Tak
ada solusi lain kecuali harus memilih. Kesalahan memilih tak hanya berdampak
buat diri sendiri, tapi juga umat Islam secara luas.
Penulis : Luqman H. Syuhada
Tidak ada komentar