Manjaniq.com--Menjelang
aksi damai 2 Desember 2016, publik sudah dipenuhi berbagai spekulasi dan wacana
di layar kaca (ponsel atau televisi kita). Pemerintah dan elit parpol wara-wiri
berkonsolidasi. Namun yang paling massif adalah pernyataan-pernyataan yang
disebut terindikasi makar pada rencana aksi 212. Pernyataan itu misalnya
disebut Kapolri, Tito Karnavian, pada (21/11/2016).
Sayangnya
isu makar tersebut menjadi bola liar di masyarakat. Penjelasan pemerintah tak
terang benderang. Kapolri misalnya ketika ditanya sosok aktor di balik rencana
makar, meminta masyarakat untuk membacanya di Google. Begitu pula Menkopolhukam
Wiranto, ketika ditanya sumber informasi tentang makar, menjawab mengetahuinya
dari media sosial. Nyatanya informasi yang beredar di media sosial adalah
informasi yang amat sumir dan harus di verifikasi kebenarannya. Majalah Nieman
Reports yang dikeluarkan oleh Nieman Foundation di Harvard bahkan sampai
mengeluarkan edisi khusus yang membahas kebenaran informasi di era digital.
(Nieman Reports vol 66: 2012)
Sumirnya
informasi tentang makar ini tak ayal akan menimbulkan rasa cemas dan ketakutan
di masyarakat. Boleh jadi masyarakat akan saling mencurigai satu sama lain.
Ketakutan di masyarakat ini bukan kebetulan. Melainkan diperkokoh oleh media
massa yang amat mengeksploitasi informasi tentang makar yang sumir tersebut.
Pembahasan soal rencana demonstrasi (aksi damai) 2 Desember 2016, terpusat pada
isu makar yang dilontarkan pemerintah. Hal ini misalnya dapat dilihat dari
pemberitaan media online nasional di tanah air seperti detik.com, kompas.com,
Tempo.co dan cnnindonesia.com. Detik.com bahkan merangkum topik rencana
demonstrasi 2 Desember 2016 dengan judul “Awas Demo Makar.” Sedangkan CNN
Indonesia merangkum dengan judul “Aksi Menghadang #212.” Kedua judul tersebut
memberikan kesan negatif pada aksi 2 Desember nanti. Sementara Kompas.com lebih
memilih merangkum dengan judul yang lebih netral, yaitu “Demo 2 Desember 2016.“
Sedangkan Tempo.co memang tidak melakukan kebijakan pengelompokan khusus dengan
memberi judul tertentu pada pemberitaannya. Dari ketiga media tersebut tak ada
yang memuat rencana demonstrasi tersebut dengan sebutan resmi yang dikeluarkan
oleh GNPF-MUI, pemrakarsa demonstrasi, yaitu Aksi Super Damai Jilid 3.
Isu
makar yang diekspos begitu masif oleh media massa bukan kebetulan semata. Hal
ini terlihat dari pemberitaan sejak menjelang aksi demonstrasi pertama yang
menuntut proses hukum Gubernur non aktif Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)
tanggal 14 Oktober 2016. Pemberitaan menjelang demonstrasi 14 Oktober 2016 kala
itu sudah didominasi pemberitaan yang mengambil sudut pandang keamanan.
Pemberitaan lebih banyak diberikan porsi pada persiapan keamanan yang dilakukan
pemerintah. Pun ketika demonstrasi tanggal 14 Oktober berlangsung tertib tak
banyak perhatian yang diberikan. Media-media lebih memilih untuk memberitakan
soal dampak dari demonstrasi seperti pengalihan arus lalu lintas. Bahkan kita
tahu, media kemudian lebih tertarik memberitakan soal taman yang rusak akibat
demonstrasi ketimbang aspirasi tersebut. Pemberitaan soal taman yang rusak ini
amat diekspos oleh media massa. Salah satunya Detik.com yang bahkan
memberitakan soal taman secara tiga hari berturut-turut dan setidaknya terdapat
10 berita soal rusaknya taman, di luar berita foto tentang taman tersebut sejak
tanggal 14 hingga 16 Oktober 2016.
Salah
satu bentuk pemberitaan lain untuk mengecilkan demonstrasi pertama adalah
dengan mengecilkan beragamnya peserta demonstrasi. Hal ini yang dilakukan oleh
Tempo.co. Tempo.co menyebut peserta demonstrasi sebagai FPI belaka. Tempo tetap
konsisten dengan menyebut demonstrasi sebagai demonstrasi FPI baik di judul
maupun isi berita mereka. Hal itu dapat dilihat misalnya pada berita “Unjuk
Rasa FPI, Polda Siapkan Buka-Tutup Jalur Ini” dan “Hadang FPI, Ribuan Personl
Gabungan Bersiaga di Balaikota DKI.”
Begitu intensnya Tempo.co hendak mengidentifikasi peserta aksi yang
beragam hanya sebatas FPI, dalam sebuah pemberitaannya Tempo.co menyesatkan
pembaca dengan ‘meminjam mulut Presiden.’
Hal ini dapat kita lihat pada berita yang berjudul “Jokowi: Demo FPI
Jangan Paksakan Kehendak.“ Pernyataan Presiden ini disampaikan pada 31 Oktober
2016, menanggapi rencana demonstrasi jilid dua yang meminta proses hukum terhadap
Ahok. Tempo.co menulis dalam beritanya:
“Presiden
Joko Widodo mengaku sudah mendengar soal rencana demo besar Front Pembela Islam
pada Jumat, 4 November 2016. Ia mempersilakan FPI melakukan demo tersebut.
(cetak tebal dari penulis). “Demonstrasi adalah hak tiap warga. Silakan, boleh
saja demo,” ucap Presiden Jokowi saat dicegat awak media di Jakarta Convention
Center, Senin, 31 Oktober 2016.”
Pertanyaan
yang dapat kita ajukan, apakah Presiden Joko Widodo mengatakan secara literal
FPI boleh melakukan demonstrasi? Ternyata tidak. Presiden Joko Widodo tidak
menyebut pihak tertentu. Ia hanya menyebut demonstrasi hak setiap warga.
Tidak
berhenti di situ, Tempo.co kembali menyesatkan pembaca dengan ;meminjam
pernyataan presiden untuk menekankan identifikasi terhadap FPI. Dalam berita
tersebut di tulis,
“Presiden
Joko Widodo berujar, meski diperbolehkan, bukan berarti demo itu tanpa aturan
dan batasan. Ia menuturkan FPI boleh berdemo, asal tidak memaksakan kehendaknya
lewat cara apa pun, terutama kekerasan. (cetak tebal dari penulis). Presiden
berharap tidak ada tindakan kekerasan apa pun pada unjuk rasa Jumat nanti. Ia
mengatakan FPI harus bisa berdemo dengan tertib, aman, dan tidak menimbulkan
aksi anarkistis.” (cetak tebal dari penulis)
Benarkah
Presiden Joko Widodo benar-benar menuturkan : “FPI boleh berdemo?“ Nyatanya
tidak demikian.* Setelah mengatakan, “Demonstrasi adalah hak setiap warga,“
Presiden Joko Widodo hanya mengatakan, “Silakan, boleh. Boleh saja.. mau
demonstrasi. Tapi yang Penting Jangan memaksakan kehendak.“
Begitu
pula dengan kalimat “Ia mengatakan FPI harus bisa berdemo dengan tertib,…“
Apakah presiden benar berbicara demikian? Setelah mengatakan “boleh saja.. mau
demonstrasi,“ Presiden Jokowi hanya mengatakan, “Tapi yang penting jangan
memaksakan kehendak. Atau yang merusak, yang anarkis. Dan Pemerintah terus akan
menjamin setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya. Tapi tetap
mengutamakan ketertiban umum“
Lantas
mengapa Tempo.co menulis “presiden menuturkan FPI boleh berdemo?“ dan “FPI
harus bisa berdemo dengan tertib?“ Bukankah ini dapat menyesatkan pembaca?
Tugas jurnalis adalah menulis sesuai fakta, bukan menafsirkan, atau memaksakan
fakta sesuai dengan kepentingan media. Framing dibolehkan dalam pemberitaan,
selama tidak mengaburkan fakta. Apa yang dilakukan tempo.co adalah meminjam
figur presiden Jokowi (putting words into someone’s mouth) untuk menekankan
pemberitaan pada FPI. Cara-cara seperti ini amat kita sesalkan dalam praktik
jurnalisme di Indonesia. Memaksakan cara pandang media sehingga mengaburkan
fakta.
Seperti
yang sudah kita ketahui, demonstrasi 4 November 2016, kemudian bukan saja
berlangsung secara damai, tetapi juga diikuti setidaknya 2 juta orang, dan
mungkin salah satu demonstrasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Media
massa dan masyarakat kemudian mengenalnya sebagai aksi damai 4 November 2016.
Insiden ricuh pada malam harinya pun dimaklumi sebagai tindakan provokator dan
tidak menodai kesan aksi damai yang berlangsung dari siang hingga sore harinya.
Fokus pemberitaan kembali bergerak pada sentimen politik setelah pemerintah
kembali memberi pernyataan yang sumir mengenai aktor politik. Dan isu aktor
politik itu pun kembali menjadi bola liar hingga menjelang demonstrasi ketiga.
Pemberitaan
yang kita simak saat ini tampaknya memang akan terus berpusar pada persoalan
makar yang sangat diekspos oleh media. Lantas mengapa media begitu intens
memberikan pemberitaan yang membangun rasa takut di masyarakat terhadap
demonstrasi? David L. Altheide (2003) menyatakan bahwa kecondongan media untuk
menyajikan pemberitaan yang membangun rasa takut terinspirasi dari dunia
hiburan. Penyajian yang membangun rasa takut ini bukan hanya perkara
kriminalitas, tetapi juga hal lain yang terasosiasi dengan rasa takut, seperti
wabah, AIDS terorisme, anak-anak dan sekolah. Dan biasanya hal ini juga diikuti
dengan komunikasi yang membangun rasa takut dan kontrol dari pemerintah.
Dampak
dari pemberitaan yang membangun rasa takut ini tentu bukan sepele. Media
memiliki kemampuan untuk berkontribusi di agenda politik dan sosial. Media
bukan saja memberikan informasi tetapi juga dapat mengarahkan orang untuk fokus
dan takut pada kejahatan, ia bahkan dapat menanamkan nilai dan perspektif
tertentu. Masyarakat akibatnya merasa tak aman dan merasa dapat menjadi korban.
(David L. Altheide : 2003)
Dampak
terbesar dari wacana ketakutan adalah mempromosikan rasa tidak teratur,
(disorder), dan percaya keadaan sudah di luar kendali. Kehidupan sosial bisa
menjadi lebih berbahaya jika aktor sosial mendefinisikan situasi mereka sebagai
“menyeramkan” dan terlibat dalam masyarakat lewat wacana ketakutan. Ketika
masyarakat sudah terfokus dalam ketakutan (dan kekalutan), mereka tak lagi
mampu memilah secara rasional, informasi yang disajikan tak lagi diseleksi
sehingga kehadiran pemerintah yang seakan menjadi “penyelamat” tanpa dikritisi
lagi.
Membangun
rasa takut terhadap demonstrasi tak ayal adalah salah satu ciri dari rezim orde
baru. Demonstrasi dianggap sebagai sebuah aksi subversif terhadap pemerintah.
Stempel baik ekstrim kiri atau ekstrim kanan ditimpakan begitu saja kepada
mereka yang terlibat demonstrasi. Sehingga ketika masyarakat dilanda ketakutan
terhadap demonstrasi, masyarakat akhirnya membiarkan begitu saja tindakan
represif bahkan berujung pembantaian terhadap demonstran, seperti misalnya yang
terjadi pada Tanjung Priok tahun 1984.
Demonstrasi
seharusnya tidak perlu ditakuti. Selain dijamin oleh Undang-Undang, demonstrasi
juga sebuah pertanda hidupnya demokrasi di sebuah negara. Di Indonesia,
demonstrasi menjadi seiring dengan perjalanan bangsa kita. Bahkan demonstrasi
menentang penistaan agama sudah terjadi sejak tahun 1918, ketika surat kabar
Djawi Hiswara menerbitkan tulisan Djojodikoro yang berjudul “Pertjakapan antara
Marto dan Djojo.” Dalam artikelnya, Djojodikoro menulis “Gusti Kandjeng Nabi
Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium.”
Tulisan
ini mengundang reaksi hebat umat Islam kala itu. Dimotori oleh Sarekat Islam,
organisasi bercorak nasional pertama di Indonesia, protes terhadap penistaan
agama itu menghebat di berbagai tempat. Tjokroaminoto kemudian membentuk
Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM), melakukan aksi protes di 42 tempat di seluruh Jawa dan sebagian
Sumatera dihadiri oleh lebih dari 150.000 orang. Perlu diingat, saat itu
Indonesia masih dalam keadaan terjajah oleh kolonial Belanda, namun aksi protes
tetap bisa berlangsung. Pun, sepanjang sejarah bangsa kita, aksi massa terus
mewarnai. Berkumpulnya massa di lapangan IKADA tahun 1945 juga bagian dari
sejarah bangsa. Bahkan reformasi yang menandai pergerakan Indonesia lepas dari
sistem otoriter di tahun 1998 juga tak lepas dari aksi demonstrasi.
Di
era digital saat ini, aksi demonstrasi justru menjadi pertanda baik hadirnya
aktivitas politik masyarakat yang nyata. Sejak hadirnya media digital, terutama
media sosial seperti Facebook dan Twitter, masyarakat seperti amat aktif
berpolitik dan menjadikan politik isu keseharian mereka. Aktivisme politik pada
era digital saat ini bernuansa kontestasi kuasa dan makna dalam dunia maya dan
ditentukan pembagian peran oleh buzzer, influencer dan followers. Benar atau
salah dihitung dari seberapa banyak menuai like dan seberapa viral di dunia
maya. Selain itu aktivisme politik di dunia maya saat ini memang condong pada
saling perang kepentingan yang diungkap secara reaksioner dan emosional. Hujat
menghujat meramaikan aktivisme politik ini. (Wasis Raharjo Jati : 2016) Namun
aktivisme politik ini dipertanyakan wujudnya dalam dunia nyata. Seberapa besar
aktivisme di dunia maya ini mampu menggerakan masyarakat dalam politik yang
nyata? Ataukah hanya keriuhan di dunia maya semata. Hadirnya gelombang
informasi yang begitu massif memang bukan berarti hidupnya demokrasi di
masyarakat.
Hadirnya
internet, terutama media sosial juga bukan berarti memberi pengetahuan politik
yang memadai bagi masyarakat. Masyarakat dibanjiri informasi, namun tak dapat
memilah. Masyarakat (merasa) hanya perlu dilibatkan saat politik elektoral
saja. Ketika menjelang pemilu, mereka dilibatkan. Namun setelah para politisi
terpilih, mereka menyerahkan pada politisi semata untuk mengurus soal politik.
Schudson menyebut fenomena ini sebagai ‘political backpackers.’ “Why we should
expect when we are all wired, we’ll be closer to some kind of democracy?”
(Michael Schudson: 2001)
Maka
ketika masyarakat turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi, itu berarti
masyarakat telah menyalurkan aspirasinya dalam ruang demokrasi. Pertanda yang
baik bahwa gelombang protes masyarakat di dunia digital khususnya media sosial,
untuk menuntut penegakan hukum terhadap kasus penistaan agama oleh Ahok
bukanlah gelombang protes yang diciptakan oleh aktor-aktor palsu semacam
buzzer. Mereka benar adanya orang-orang yang menyalurkan aspirasinya baik di
dunia maya maupun dunia nyata.
Media
massa tak seharusnya membangun rasa takut di masyarakat dengan mengeksploitasi
pemberitaan yang ‘seram’ dan menakut-nakuti aksi demonstrasi. Media adalah
pilar demokrasi. Amat ironis jika sebagai pilar demokrasi, media turut
merobohkan demokrasi itu sendiri. Seiring dengan media, perilaku pejabat di
negeri ini juga seharusnya tidak reaktif dan kalut menghadapi demonstrasi. Tak
perlu mengungkap pernyataan-pernyataan yang mengambang, dan hanya menimbulkan kebingungan
serta rasa khawatir di benak masyarakat. Demonstrasi adalah bagian dari
aspirasi rakyat yang dilindungi oleh undang-undang. Ia adalah pertanda hidupnya
dialog di sebuah negara.
Ada
baiknya para pejabat pemerintahan belajar kembali dari para pendiri negeri ini.
Salah satunya adalah sikap Bung Hatta menghadapi demonstrasi. Suatu ketika di
bulan April tahun 1962, saat ia sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil
Presiden RI, Bung Hatta di demonstrasi di Bandara Kemayoran. Di depan ruang VIP
Bandara Kemayoran, ratusan pemuda, yang disebut Rosihan Anwar sebagai orang
suruhan PKI, mencemooh dan memrotes dirinya. Mereka membawa berbagai poster
yang bertuliskan “Hatta tetap Hatta, Belanda tetap Belanda,” “Bung Hatta
berevolusilah,” dan “Bung Hatta jangan bermuka dua.” Para demonstran liar itu
berada dekat sekali dengan Bung Hatta yang berada di ruang VIP bandara
Kemayoran. Namun Bung Hatta tetap terlihat tenang-tenang saja. Malah ia
kemudian berjalan menuju mobilnya dan sambil berkata kepada mereka, “Saya tetap
Hatta”, “Muka saya cuma satu.” (Rosihan
Anwar : 2006)
Penulis:
Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Komunitas Kultura
sumber : kiblat
Tidak ada komentar