Manjaniq.com--Kepimimpinan
(الإمامة) di dalam Islam adalah sesuatu yang
sangat mendasar. Karena urgennya permasalahan kepemimpina ini para ulama
membahas permasalahan ini dalam buku terpisah. adalah Imam Al-Mawardi Asy
Syafi’i mengarang sebuah buku yang berjudul Al Ahkam As Sulthoniyah. Beliau
mendefinisikan kepemimpinan sebagai posisi yang menggantikan peran kenabian
dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengan agama tersebut.
Urgensi Kepemimpinan
Dalam Islam
Seorang
pemimpin adalah pengganti Nabi dalam memimpin kaum muslimin, bedanya hanya
satu, Nabi menerima hukum-hukum yang diberlakukan kepada umatnya melalui wahyu
dari sisi Allah, sedangkan seorang pemimpin menggalinya dari nash-nash
Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ kaum muslimin, atau berijtihad jika memang tidak
didapatkan dalam nash syar’i maupun ijma’.
Kedudukan
seorang pemimpin memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam mewujudkan
eksistansi kaum muslimin dalam menjalankan syari’at-Nya, karena itu kaum
muslimin wajib untuk memiliki seorang imam. Diantara alasan mengapa umat ini
menghajatkan pemimpin adalah sebagai berikut:
Pertama, diantara kewajiban besar yang
Allah perintahkan kepada kaum muslimin adalah bersatu padu di atas tali Allah.
Umat mana pun tidak akan lepas dari yang namanya perselisihan dan pertikaian,
kecuali bila mereka menyerahkan kendali kepemimpinan kepada salah seorang di
antara mereka. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam sebuah kaidah:
حكم
الحاكم يَرْفَعُ
الْخِلَافَ
“Pendapat
seorang imam akan menghilangkan perselisihan”.
Kedua, mayoritas syarat penerapan
hukum-hukum syari’at Islam bergantung pada kuasa seorang imam serta
pengawasannya, seperti menyelesaikan pertikaian, pengangkatan para gubernur,
mobilisasi perang, perjanjian perdamaian dan sebagainya.
Ketiga, dalam syari’at Islam ada sebagian
dari hukum-hukumnya yang ditangguhkan, karena syari’at belum menetapkan hukum
baku padanya, sehingga adanya seorang imam adalah untuk memberi kebijakan pada
hukum-hukum tersebut. Tentunya, dengan bashirah dan ijtihadnya serta dengan
mempertimbangkan kemaslahatan kaum muslimin dan situasi yang mereka alami. Seperti
administrasi keuangan, pemberangkatan pasukan, masalah tawanan. Apabila tidak
ada imam yang memegang wewenang kepimimpinan, maka perkara-perkara di atas akan
terus ditangguhkan tanpa adanya ruang untuk memastikan hukum terhadapnya.
Keempat, rentannya kemunculan kelompok
tertentu dalam tubuh umat Islam, yang melakukan pelanggaran, memecah kesatuan
kaum muslimin atas dorongan hawa nafsu, atau pemikiran yang menyimpang dengan
mengatasnamakan agama dan kebaikan. Maka, untuk memadamkan kobaran fitnah seperti
ini, dibutuhkan seorang pemimpin muslim yang adil, yang menjelaskan kepada umat
manhaj yang benar dan memperingatkan mereka agar tidak terjerumus ke jalan yang
sesat. Dalam keadaan ini umat tidak akan jatuh dalam kebingungan atau kerancuan
karena ketidaktahuan. Sebab, apa yang menjadi perintah imam wajib diamalkan.
Lalu,
bagaimana jadinya jika umat Islam tanpa seorang pemimpin. Jawabannya sudah bisa
diprediksi, bahwa kaum muslimin akan terpecah-belah menjadi kelompok-kelompok
dan aliran-aliran yang saling membelakangi dan mencaci. Selanjutnya perbedaan
dan pertikaian akan melemahkan dan membinasakan mereka.
Seperti
Apa Sosok Pemimpin Islam?
Lantas
siapakah yang layak menjadi pemimpin kaum muslimin, yang menjaga dien serta
mengatur dunia dengan dien tersebut? Islam sangat ketat dalam persoalan
kriteria sosok imam. Mereka yang hendak menduduki kursi kepemimpinan wajib
memenuhi syarat-syarat berikut:
Pertama,
beragama Islam, maka tidak sah kepemimpinan yang bukan muslim, karena ia bagian
dari hukum syar’i yang mengatur kehidupan kaum muslimin. Sehingga tidak mungkin
memberikan tugas ini kepada orang yang tidak beriman.
Kedua,
laki-laki, maka tidak sah kepemimpinan wanita, berdasarkan sabda Rasulullah,
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR. Bukhari No. 4163).
Selain itu, dalam kepemimpinan akan ada persoalan-persoalan yang pelik, yang
mana kaum wanita tidak mampu menyelesaikannya.
Ketiga,
ar-rusydu (berakal lurus), maka tidak sah kepemimpinan anak-anak, orang lemah
akal dan yang sepertinya, sekalipun ia dikelilingi oleh para pembimbing.
Rasulullah bersabda, “Berlindunglah kepada Allah dari kepemimpinan anak-anak.”
(HR. Ahmad No. 2/326).
Keempat,
‘adalah (memilki kepribadian lurus), yaitu ia belum pernah melakukan dosa
besar, seperti berzina, membunuh, memakan riba dan tidak melazimi dosa-dosa
kecil. Juga tidak mengangkat orang fasik sebagai pemimpin karena tidak memenuhi
kriteria ‘adalah.
Kelima,
memiliki ilmu tentang hukum-hukum syar’i beserta dalil-dalilnya yang membuatnya
kapabel dan layak untuk berijtihad saat dibutuhkan, karena dalam syari’at Islam
banyak masalah yang hanya boleh ditetapkan oleh seorang imam, dan ia memutuskan
berdasarkan ijtihadnya yang mengacu kepada asas kemaslahatan kaum Muslimin.
Keenam,
memiliki pendengaran, penglihatan, dan lisan yang sehat, dan tidak boleh cacat
pada salah satu dari tiga perkara ini, karena cacat pada salah satu darinya
menghalanginya mengerjakan tugas-tugas kepemimpinan dengan baik.
Ketujuh,
memiliki kecerdasan dan kesadaran penuh, sehingga ia dipandang layak untuk
memutar roda pemerintahan, menjaga negeri dan umat dari keburukan yang
mengancamnya. Tolak ukur kecerdasan dan kesadaran tersebut tergantung pada
kebijakan cendekiawan dan ahli syura yang telah berpengalaman.
Kedelapan,
bernasab Quraisy. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas radiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah bersabda, “Para pemimpin itu dari Quraisy.” (HR. Ahmad No. 3/139).
Dalam
riwayat Bukhari disebutkan bahwa, “Sesungguhnya kepemimpinan ini ada di tangan
Quraisy.” Riwayat Muslim disebutkan pula bahwa, “Orang-orang mengikuti Quraisy
dalam kepemimpinan ini.”
Syarat
yang terakhir ini adalah khusus untuk pemimpin tertinggi kaum muslimin, yang
secara istilah disebut imamatu al-udzma. Syarat tersebut juga tidak mutlak,
hanya saja bila orang Quraisy yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat
sebelumnya. Namun, jika tidak maka cukup yang bernasab Arab secara umum, yakni
nasab arab asli. Bila tetap tidak ada, maka cukup dengan 7 syarat pertama apa
pun nasabnya.
Adapun
bila ada sebagian syarat yang tidak terpenuhi, maka wajib mendahulukan
sifat-sifat kelayakan memimpin di atas sifat-sifat kelayakan pribadi, misalnya
orang yang menguasai urusan-urusan hukum dan ahli dalam mengatur perkara patut
didahulukan, sekalipun mungkin kelurusan (‘adalah) pribadinya dipermasalahkan
yang disebabkan perilaku pribadinya yang kurang baik atas orang yang tidak
memiliki sifat-sifat kelayakan memimpin, walaupun dari sisi pribadi dia adalah
orang lurus, hanya saja syarat beragama Islam adalah syarat yang harus ada dan
tidak bisa ditawar.
Mereka
Yang Bermadzhab Syafi’i
Mayoritas
umat Islam di Indonesia menganut mazhab syafi’i, oleh karena itu hal ini mesti
dipahami. Maka menjadi lewajiban bagi kita untuk mewujudkan adanya seorang
pemimpin yang layak dan kapabel dalam mengatur kehidupan umat Islam, karena ini
adalah adalah tuntutan. Sebagaimana lazimnya fardhu kifayah, jika tidak ada
satupun yang berjuang menegakkannya, maka seluruh umat Islam bisa terkena
dosanya. Tentunya, bukan sembarang pemimpin, yang hanya bermodalkan harta,
kedudukan dan jabatan, tapi dari sisi kepribadiannya sangat tidak pantas untuk
menjadi pengganti dari tugas kenabian ini.
Perlu
diketahui, jika ada seseorang yang diketahui kefasikannya (ibtida’an, berbeda
jika kefasikannya muncul setelah dia menjadi khalifa), maka ia tidak boleh
dipilih dan diangkat menjadi pemimpin. Bahkan para ulama tidak memperbolehkan
seluruh umat Islam memilih seorang yang ma’ruf akan kelalimannya, sebagai
seorang ‘khalifah’. Jika ada seorang khalifah yang melakukan tindak kelaliman
dan ketidakadilan pada saat masa kepemimpinannya maka wajib diingkari.
Kalau
pemimpin yang di kenal akan kefasikan dan kelalimannya sejak awal saja tidak
boleh dipilih menjadi pemimpin, apalagi jika ia seorang yang kafir lagi
memusuhi Islam. Imam An-Nawawi menukil perkataan Qadhi Iyadh, “Para ulama telah
sepakat bahwa kekuasaan tidak diberikan kepada orang kafir, bila ada kekafiran
padanya maka harus dilengserkan, demikian pula bila meninggalkan shalat dan
do’a.” (Syarh Shahih Muslim, 12/229). Wallahu waliyyu at-Taufiq.
Penulis:
Asy-Syathiri dari Yanisari Teams.
Editor
: Arju Khoiro
Referensi:
Al-Mawardi,
al-Ahkam as-Sulthaniyah, Kairo, Darul Hadits.2006
Musthafa
al-Kin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji Ala Madzhab al-Imam
asy-Syafi’i, versi maktabah syamila
Tidak ada komentar