Manjaniq.com--Assalamu’alaikum
ustadz. Saya ingin menanyakan. Apakah kalau suami istri sudah tidak tidur
seranjang (jima’) dalam waktu cukup lama, istri berhak untuk menanyakan dan
meminta dipenuhi nafkah batinnya? Terima kasih. (Hn Boyolali)
Ibu
yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah. Islam adalah agama fitroh yang
segala sendi kehidupannya diatur sesuai fitroh, termasuk dalam hal jima’. Islam
bahkan tidak memandang remeh permasalahan yang satu ini, karena urusan hubungan
suami istri juga merupakan perkara ibadah.
Dirangkum
dari buku at-Thibb an-Nabawi tentang manfaat jima’, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah
menyebutkan diantaranya yaitu; (1) Reproduksi dan mempertahankan eksistensi
umat manusia, (2) Mengeluarkan sperma yang apabila ditahan di skortum dapat
membahayakan tubuh sehingga menimbulkan penyakit yang buruk, seperti was-was
atau depresi, serta (3) Meredakan libido (hasrat seksual), yakni meraih
kenikmatan cicipan surga berpahala sebagai karunia Allah yang halal, yang kelak
akan terpuaskan secara sempurna di surga.
Dalam
suatu pernikahan, suami dan istri
masing-masing mempunyai hak dan kewajiban atas satu sama lain secara seimbang.
Allah berfirman, “… Dan para wanita
mempunayi hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf..”
(QS. Al-Baqarah : 228). Begitupun halnya para suami juga diperintahkan agar
selalu memperhatikan dan mempergauli istrinya dengan baik, termasuk nafkah
batin. Allah Ta’ala berfirman, “.. Dan bergaullah dengan mereka (istri) dengan
cara yang baik.” (QS. An-Nisa’ : 19).
“Mendatangi
istri” termasuk ibadah sedekah yang berpahala. Tentu dalam beribadah menuntut
kita harus melakukannya dengan cara yang baik. Dari Abu Dzar bahwa Rasulullah
bersabda, “Dan di dalam kemaluan salah seorang di antara kalian (maksudnya
dalam hubungan intim dengan istrinya) adalah sedekah.” Lalu sahabat bertanya,
“Ya Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami mendatangi istrinya (jima’)
dan dia mendapat pahala?” Maka Rasulullah bersabda, “Bukankah apabila dia
melakukannya di tempat yang haram (zina)
dia akan berdosa? Maka demikian pula seandainya dia melakukannya di tempat yang
halal (istrinya) maka dia akan mendapat pahala.”
Suatu
ketika seorang wanita mengadu kepada Amirul mukminin Umar bin Khathab bahwa
suaminya shalat malam terus tanpa henti dan siangnya berpuasa. Artinya ia tidak
mendapat nafkah batin. Lantas Ka’ab al-Asadi berkata kepada Umar, “Wahai Amirul
Mukminin, perempuan ini mengadukan keadaan suaminya karena ia membiarkan tidur
sendirian.” Maka Umar menjawab, “Kalau seperti itu yang kau fahami dari
ucapannya, maka putuskanlah perkara antara keduanya.”
Bukan
hanya kualitas, Tapi juga kuantitas
Bukan
hanya kualitas, Islam juga memperhatikan kuantitas dalam bermesraan dengan
pasangan. Bukan hanya untuk suami, tapi juga untuk istri.
Pada
zaman khalifah Umar bin Khatthab Radhiyallaahu ‘Anhu pernah terjadi kisah yang
menggambarkan derita seorang istri yang merindukan sentuhan suaminya, sementara
suaminya sedang tidak berada di sisinya karena tengah mengemban tugas berjihad
di medan perang. Diriwayatkan suatu malam Khalifah Umar bin Khatthab
Radhiyallaahu ‘Anhu tengah melakukan perjalanan keliling Madinah yang mana hal
demikian sering dilakukannya semenjak ia menjabat khalifah. Ketika melintasi
suatu rumah yang terkunci, sekonyong-konyong Umar bin Khatthab Radhiyallaahu
‘Anhu mendengar seorang perempuan Arab
berkata :
Malam
kian larut berselimut gulita
Telah
sekian lama kekasih tiada kucumbu
Demi
Allah, sekiranya bukan karena mengingat-Mu
Niscaya
ranjang ini berguncang keras
Namun,
duhai Rabbi…
Rasa
malu telah menghalangiku
Dan
suamiku itu…
Terhormat
lagi mulia
Pantang
kendaraannya dijamah orang
Setelah
itu perempuan itu menghela nafas dalam-dalam seraya berkata “Alangkah sepinya,
betapa lama suamiku meninggalkan diriku…”
Umar
pun terpaku mendengar tuturan perempuan itu lalu ia bergumam “Semoga Allah
merahmatimu.” Lalu keesokan harinya Umar
membawakan pakaian dan sejumlah uang untuk wanita itu. Lalu ia mencari tahu
perihal suami wanita itu. Menurut informasi yang diterimanya, suami wanita itu
sedang berjihad fi sabilillah di medan perang, Umar pun menulis surat kepada
suami wanita tersebut dan menyuruhnya pulang.
Selanjutnya
Umar mendatangi putrinya Hafshah dan bertanya “Wahai putriku, berapa lamakah
seorang perempuan tahan berpisah dengan suaminya?” “Subhaanallah ! Orang
seperti engkau bertanya kepada anak sepertiku mengenai masalah seperti ini?”
jawab Hafshah. “Kalau bukan karena aku ingin mengatasi persoalan kaum muslimin
aku tidak akan bertanya kepadamu,” kata Umar.
Lalu Hafshah menjawab, “Bisa sebulan, dua bulan atau tiga bulan. Setelah
empat bulan ia tidak akan mampu lagi bersabar.“ Maka sejak saat itu, khalifah
Umar bin Khatthab Radhiyallaahu ‘Anhu menetapkan jangka waktu itu sebagai
ukuran lamanya pengiriman pasukan ke medan perang. (Manaqib Umar Bin Khatthab
karya Ibnul Jauzi).
Belajar
dari pemaparan di atas, tidak boleh suami atau istri mengabaikan nafkah batin
bagi pasangannya tanpa alasan yang dibenarkan. Seperti isteri berbuat nusyuz
(durhaka) atau salah satunya dalam kondisi sakit sehingga dikhawatirkan akan
membahayakan keadaannya atau pasangannya.
Bagi
para suami, fahamilah ada hak istri atas suami. Jika memang keadaan yang
mengharuskan sang suami bepergian, maka usahakanlah pada waktu-waktu tertentu
yang tidak terlalu lama untuk “melihat” istrinya, jika tidak memungkinkan, maka
sebaiknya istrinya juga diboyong, karena dengan yang demikian itu, hati akan
menjadi tenang insyaAllah.
Wallahua’lam.
*******
[Dikutip
dari majalah Arsada, dengan tambahan dan penyelarasan]
sumber : jalinankeluargadakwah
Tidak ada komentar