Manjaniq.com--Sejatinya,
inti dari ajaran Islam adalah mengajak kepada setiap kebaikan dan mencegah dari
seluruh kemunkaran. Karena itu, dalam syariat Islam, perintah amar makruf nahi
munkar menjadi wajib bagi setiap umat ini. Bahkan barometer kebaikan umat ini
sangat bergantung pada komitmen mereka dalam menjalankan kewajiban tersebut.
Allah ta’ala berfirman:
“Kamu
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Namun
demikian, hingga hari ini perintah tersebut terkesan masih sering diabaikan
oleh sebagian kelompok dari umat ini. Ada yang mengatasnamakan toleransi,
akhirnya mereka cuek dengan kemunkaran yang terjadi. Sebagian yang lain
beranggapan nahi munkar adalah hak penguasa saja, lantas mereka berleha-leha
terhadap perintah tersebut. Bahkan yang cukup disayangkan, sebagian mereka
malah asyik melempar tuduhan-tudahan keji di saat umat Islam mengamalkan
kewajiban ini.
“Mengubah
kemunkaran dengan tangan itu sama saja menjatuhkan diri dalam kebinasaan.
Karena sangat mungkin perbuatan itu bisa menyebabkan mereka ditangkap dan
dipenjara oleh penguasa.” Demikian salah satu alasan klasik yang sering digunakan
untuk berkilah, bahkan digunakan untuk melegitimasi aksi para penegak amar
makruf nahi munkar. Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah ayat berikut
ini:
وَلا تُلْقُوا
بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ
“…Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (Al-Baqarah:
195)
Adanya
resiko itu pasti tapi bukan untuk mencelakan diri
Menjawab
kerancuan berpikir mereka dalam memahami ayat di atas, kita bisa merujuk
langsung bagaimana tafsiran sahabat Abu Ayyub Al-Anshari yang cukup memahami
tentang latar belakang turunnya ayat tersebut.
Diriwayatkan
dari Aslam Abu Imran At-Tujibi, ia mengatakan, “Kami berada di sebuah kota di
negeri Romawi. Tiba-tiba seorang Muslim berlari sendirian masuk menyerang
barisan tentara Romawi. Lalu, tentara Muslim berteriak dan mengatakan,
‘Subhanallah, dia telah mencelakakan dirinya sendiri.’
Lalu,
Abu Ayyub berdiri dan mengatakan, “Wahai kaum muslimin, kalian telah keliru
memahami ayat ini. Ayat ini sebenarnya turun pada kami kaum Anshar. Setelah
Islam menang dan memiliki banyak pendukung, kami berkata di antara kami sesama
kaum Anshar tanpa didengar oleh Nabi. ‘Harta kami telah habis dan Allah telah
memuliakan Islam. Sudah banyak orang yang menolong Islam. Alangkah baiknya kita
kembali mengurus perniagaan hingga dapat mengembalikan kekayaan kita yang
hilang.” Lalu, Allah menurunkan ayat ini yang membantah ucapan kami : “Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)
Jadi,
yang membuat kami celaka adalah dengan mengurus perniagaan dan meninggalkan
perang’.” (HR Abu Dawud no 2513, Tirmidzi hadits no 2972. Sahih menurut
kriteria Shahih al-Bukhari dan Muslim, juga disetujui oleh adz-Dzahabi)
Dengan
ini telah jelas bahwa mencelakakan diri adalah dengan meninggalkan infak fi
sabilillah dan meninggalkan beramal untuk Islam, serta mengutamakan kepentingan
keluarga dan harta di atas ketaatan kepada Allah dan jihad fi sabilillah.
Pemahaman yang benar-benar bertentangan dengan apa yang mereka pahami. Padahal,
Nabi telah bersabda:
“Pemimpin
syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang datang kepada penguasa
lalu mengingatkan atas kemunkaran dan mengajak kepada kebaikan lalu ia
dibunuh.” (HR. Hakim, 2/195. Ia mengatakan, “Sanadnya shahih.” Hadits ini juga
tercantum dalam Silsilah hadits Shahihah, hadits no; 374)
Allah
SWT berfirman :
Artinya
: “Sesungguhnya orang-orang yang
kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang
memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat
adil….” (QS : Ali Imran: 21)
Imam
Abu Bakar Ibnul Arabi ketika menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa sebagian
ulama mengatakan, “Ayat ini adalah dalil bagi praktik amar makruf dan nahi
munkar walau bisa berakibat kematian.”
Beliau
juga mengatakan, “Kalau takut dipukul atau dibunuh ketika menghilangkan sebuah
kemunkaran, hendaknya ia memerhatikan kaidah berikut. Kalau kemunkaran itu
diharapkan dapat hilang maka kebanyakan ulama berpendapat boleh menempuh bahaya
tersebut. Tetapi, jika diyakini tidak dapat dihilangkan lalu apa manfaat
melakukannya? Pendapat saya, jika telah mengikhlaskan niat hendaknya ia tetap
mengubah kemunkaran tersebut tanpa harus peduli apa pun risikonya.” (lihat;
Ahkamul Qur’an, 1/266-267)
Pendapat
Imam Ibnul Arabi di atas ingin menegaskan kepada kita bahwa setiap kemunkaran
wajib diingkari, apapun bentuknya dan siapapun yang melakukannya. Adanya resiko
dalam menerapkan kewajiban ini adalah suatu hal yang pasti, tidak pantas jika
kemudian dijadikan alasan untuk berdalih untuk meninggalkannya. Tentunya, titik tekan Ibnul Arabi di sini
bukan untuk bertindak secara serampangan. Lebih kepada penegasan tentang
wajibnya amar makruf nahi munkar. Wallahu a’lam bis shawab!
Penulis
: Fakhruddin
Editor
: Arju
Disadur
dari buku “Nahi Munkar Instruksi Ilahi yang Diabaikan, Digugat, dan
Diselewengkan” Karya Syaikh Abdul Akhir Al-Ghunaimi, Penerbit Jazera, Solo.
[kiblat]
Tidak ada komentar