Manjaniq.com--Berprasangka
buruk kepada orang muslim hukumnya haram. Demikian pula memata-matai atau
mencari-cari kesalahan mereka. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian
memata-matai orang lain, jangan saling bersaing, jangan saling mendengki,
jangan saling membelakangi, jangan saling membenci, dan jadikanlah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR Shahihain).
Ghibah
itu haram. Allah telah menerangkan kepada kaum muslimin bahwa perbuatan itu
sangat dibenci dan diserupakan dengan memakan jenazah saudaranya sendiri.
Sungguh menjadi pemandangan yang sangat menjijikkan dan memuakkan, melihat
seseorang memotong-motong jenazah saudaranya dan kemudian memakannya.
Ibnu
Katsir berkata, “Sebagaimana kalian benci memakan daging saudara kalian yang
telah mati, tentunya kalian harus pula membenci hal yang sama menurut pandangan
syar’i. Menggunjing seorang muslim jauh lebih besar keharamannya di sisi Allah
daripada mendatangi mayat dan memotong-motong tubuh serta memakannya.”
Rasulullah
Membina Masyarakat
Rasulullah
menetapkan larangan ghibah dalam banyak hadits. Beliau bermaksud membangun
masyarakat Islam yang individunya mempunyai hubungan yang sangat rapat dan
saling mencintai. Rasa kasih saying tersebut tidak akan terwujud dalam suatu
masyarakat, apabila keadaan mereka seperti yang dikatakan Hudzaifah bin Yaman
kepada Mu’adz,
“Sesungguhnya
aku menjumpai zaman, di mana aku melihat orang-orang hanya bersaudara pada
lahirnya, namun batinnya bermusuhan.”
Ketika
ia berjumpa denganmu, ia menyambutmu dengan muka berseri, memelukmu
rapat-rapat, dan menciummu. Namun, begitu Anda berlalu dari sisinya sedetik
saja, lidahnya telah berkata lancang terhadapmu. Tidak ada lagi yang luput dari
celanya. Inilah yang dinamakan saudara luarnya dan musuh dalamnya. Mereka
mendatangi orang dengan satu wajah dan mendatangi orang lain dengan wajah yang
berbeda. Orang yang paling keras siksaannya pada hari Kiamat adalah orang-orang
yang bermuka dua.
Rasulullah
mengerti dan tanggap akan pengaruh lisan dan kefasihannya dalam mengoyak daging
para kaum muslimin dan menjilat kehormatan mereka. Beliau mengetahui bahwa
lisan merupakan alat terbesar yang dapat menghancurkan masyarakat dan
memporak-porandakannya.
Oleh
karena itu, beliau berpesan kepada kaum muslimin supaya menyebar kata-kata yang
baik.
(والكلِمةُ الطَّيِّبَةُ
صدَقَةٌ (مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Perkataan
yang baik adalah sedekah. (Muttafaq ‘alaih).
Generasi
Unik
Maka
dari itu, generasi yang dibina oleh Rasulullah di mata kita tampak sebagai
generasi yang unik dan jalinan sesama mereka sangat kokoh. Musuh-musuh Allah
yang paling sengit dan yang paling besar kekuatannya di muka bumi sekali pun
tidak mampu menarik keluar salah seorang dari jalinan masyarakat mereka yang
kokoh. (Karena dalam hati mereka tertanam betul ajaran Nabinya yang bersabda).
“Tidak
beriman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya
yang ia suka untuk dirinya.”
Cukuplah
melihat kemuliaan masyarakat muslim dengan mengetahui ketika Kaisar Romawi
pernah berupaya membujuk seseorang yang diisolir di tengah masyarakat tersebut
agar mau berpihak kepadanya, namun ia tidak mampu membujuknya.
Ketika
itu Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi’ diisolir dari
lingkungan masyarakat muslim karena tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Dari
jumlah pasukan Perang Tabuk yang 30.000 orang, hanya 3 orang yang tertinggal;
dengan demikian tiap 10.000 orang hanya 1 yang tertinggal. Hukuman yang mereka
terima dari Allah adalah diisolir oleh seluruh masyarakat muslim selama 50
hari. Istri-istri mereka bahkan turut pula mengisolir mereka atas perintah
Rasulullah. Al-Qur’an menuturkan keadaan mereka
وَعَلَى الثَّلاثَةِ
الَّذِينَ خُلِّفُوا
حَتَّى إِذَا
ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ
الأرْضُ بِمَا
رَحُبَتْ وَضَاقَتْ
عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ
وَظَنُّوا أَنْ
لا مَلْجَأَ
مِنَ اللَّهِ
إِلا إِلَيْهِ
ثُمَّ تَابَ
عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا
إِنَّ اللَّهَ
هُوَ التَّوَّابُ
الرَّحِيمُ
“Dan
terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka. Hingga ketika
bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun
telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa
tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian
Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.” (At-Taubah: 118)
Ketika
Ka’ab hidup terasing, ia berharap seseorang mau memandangnya, dan berharap
seseorang mau mengajaknya berbicara. Namun, tak seorang lelaki saleh pun dalam
masyarakat tersebut yang mau menunjukkan rasa simpati padanya. Ia menuturkan,
“Aku pun teringat pada putra pamanku, namanya Abu Qatadah. Ia adalah orang yang
paling aku cintai, demikian pula perasaannya padaku sebelum terjadi
pengisolasian itu.
Aku
memanjat dinding rumahnya (sebab jika ia mengetok pintu rumahnya, pasti Abu
Qatadah tidak mau membukakan pintu untuknya) dan berseru, ‘Hai Abu Qatadah,
demi Allah aku bersumpah kepadamu, tahukah kamu bahwa aku mencintai Allah dan
Rasul-Nya?’ Ia tak menjawab. Kemudian aku mengulanginya sekali lagi dan sekali
lagi. Namun ia tetap tak mau bicara dan hanya berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui.’ Maka berlinanglah air mataku dan kembali dengan perasaan
hancur.”
Dalam
masa pengisolasian yang menyesakkan ini, Raja Ghassan mengiriminya surat yang
berisi pesan:
“Sesungguhnya
kami telah mendengar bahwa sahabatmu telah menjauhimu. Allah tidak menjadikanmu
untuk hidup di negeri yang hina. Maka ikutlah kami.”
Maka
aku (Ka’ab) berkata dalam hati, “Demi Allah, ini adalah musibah. Kemudian aku
pergi ke dapur dan membakar surat itu.” Ia membakarnya agar godaan atau bujukan
apa pun yang menyelusup ke dalam hatinya tak tersisa lagi. Ia membakarnya agar
isi surat tersebut tidak memengaruhi pikirannya. Pikiran yang melintas ke dalam
benaknya untuk menerima tawaran dalam surat tersebut.
Kalau
kita menerima surat dari George Bush, Reagan, Gorbachev, atau dari pemimpin
dunia yang lain, pasti kita akan menyimpannya dalam arsip dokumen resmi. Namun,
Ka’ab memandang remeh dunia dan mengabaikannya. Ia tidak mau menjawab
permintaan seorang pemimpin dunia lantaran bangga dengan keislamannya dan
berpegang pada keimanannya.
Masyarakat
yang Solid
Masyarakat
yang mendapat gemblengan langsung dari Rasulullah ini sangat kokoh. Bahkan
seorang yang sudah terisolir dari lingkungannya, tidak diajak berbicara oleh
seorang pun, bahkan oleh istrinya sendiri, tetap menolak ajakan Raja Ghassan
untuk berpihak padanya. Masyarakat yang menampilkan Abu Bakar dan Umar pada
hari Saqifah. Abu Bakar mengulurkan tangannya kepada Umar dan berkata, “Wahai
Umar ulurkan tanganmu, aku akan berba’iat kepadamu.”
Umar
menjawab, “Andai leherku kau ulurkan di bawah mata pedang dan kemudian
memenggalnya dalam hal yang bukan maksiat adalah lebih aku sukai daripada aku
memimpin manusia sedang antara mereka ada Abu Bakar.”
Oleh
karena itu, tidak aneh jika masyarakat ini berkembang dengan kokohnya. Para
pemuka orang-orang saleh, orang-orang zuhud terbaik, para imam fiqih dari
golongan Tabi’in, dan pengikut mereka dengan baik bergabung dalam rombongan ini
sampai hari kiamat. Bahkan, kita mendapati para fuqaha’ yang saling sepadan,
sampai mencurahkan kecintaan kepada yang lain. Dengan bentuk kecintaan yang
hampir-hampir tak terlintas dalam benak.
Imam
Asy-Syafi’i mengatakan tentang Imam Ahmad (Imam Ahmad adalah murid Imam
Syafi’i).
Orang
bilang, Ahmad mengunjungimu
Dan
Engkau mengunjunginya
Kujawab,
kemuliaan tak tinggalkan tempatnya
Kalau ia mengunjungiku, itu karena
kemuliaannya
Kalau
aku mengunjunginya, itu untuk kemuliaannya
Keutamaan dalam dua keadaan itu miliknya
Beliau
senang mengunjungi Imam Ahmad untuk memperkuat rasa cintanya pada Sang Imam,
dengan harapan ia mendapatkan doa yang baik darinya. Berapa banyak sudah
terjadi, doa yang baik dari seorang untuk saudaranya di saat ghaibnya, dapat
menolak banyak hal yang tidak disukainya; melapangkan kesulitan dan kesusahan
yang menghimpit dadanya. Memperbanyak saudara adalah hiasan; hiasan di dunia
dan simpanan di akhirat.
Ketika
beliau meninggalkan kota Baghdad, beliau berkomentar, “Saya tinggalkan Baghdad,
dan saya tak meninggalkan di sana seorang pun yang lebih zuhud, lebih wara’,
lebih takwa, dan lebih faqih daripada Ahmad bin Hanbal.”
Sedangkan
Imam Ahmad sendiri, meski banyak disanjung, mengatakan,
“Tidaklah
saya memanjatkan doa kepada Allah sejak tiga puluhan tahun yang lalu, melainkan
pasti saya turut pula memanjatkan doa untuk AsySyafi’i.” Anaknya bertanya,
“Wahai ayah, siapakah Asy-Syafi’i itu, sehingga engkau mendoakan untuknya?”
Imam
Ahmad menjawab, “ Asy-Syafi’i bagaikan mentari bagi dunia dan seperti kesehatan
bagi badan. Maka apakah ada yang tidak memerlukan dua hal ini?” Demikian
hubungan mereka dengan yang lainnya.
Wallahu
a’lam bi shawab
Penulis
: Dhani El_AShim
Diinisiasi
dari Tarbiyah Jihadiyah jilid ke-7 karya syaikh Abdullah Azzam rahimahullah[kiblat]
Tidak ada komentar