Manjaniq.com--Syahadat
adalah proklamasi keimanan. Saat seorang muslim memproklamirkan kalimat
syahadat, maka saat itu pula dia berikrar untuk mentauhidkan Allah dengan
segala bentuk peng-esaan. Dia berikrar untuk mencabut segala loyalitas,
penghambaan, ketaatan, ketundukan, kepatuhan dan pengharapan kepada selain
Allah.
Sayid
Quthb berkata, “Umat Islam di Mekkah tidak memiliki syariat dan Negara. Akan
tetapi mereka yang mengikrarkan dua kalimat syahadat menyerahkan penuh komando
kepada nabi Muhammad saat itu juga. Mereka juga memasrahkan loyalitas mereka
kepada ikatan keimanan. Saat seseorang masuk Islam dia melepaskan di depan
pintunya kejahiliyahan, dia memulai babak baru yang terlepas jauh dari
kehidupan jahiliyahnya. Dia berdiri di setiap kebiasaan jahiliahnya seperti
orang yang ragu, bingung, hati-hati dan penuh rasa takut. Ada uzlah syu’uriyah
(hijrah perasaan) antara masa jahiliyah dan masa keislamannya. Dan dari uzlah
syu’uriyah ini muncul sikap mengasingkan diri dari masyarakat jahiliyah yang
berada di sekitarnya.” (Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, hal 161, ditulis oleh
Muhammad bin Said Al-Qohthoni, penerbit Al-Fath lil I’lam Al Arabi)
Penggambaran
Sayid Quthb di atas merupakan sebuah penggambaran tentang konsekuensi
perjalanan perasaan dan hati orang yang mengucapkan kalimat syahadat. Kalimat
syahadat yang menghasilkan ketundukan dan kepatuhan absolut kepada Allah
sembari meninggalkan kekufuran dan pelaku kekufuran. Kalimat syahadat yang
diucapkan dengan benar akan melahirkan sikap bara’ dari kekufuran dan
orang-orang kafir.
Pelajaran
Bara’ terhadap Kekufuran dari Kasus Ahok
Terpilihnya
Ahok menjadi wakil gubernur DKI Jakarta adalah indikasi bahwa pemahaman wala
wal bara’ di tengah umat Islam DKI yang berjumlah 85% dari penduduk Jakarta
mulai pudar. Akan tetapi kemudian statemen Ahok yang melarang menyembelih hewan
kurban selain di RPH, melarang acara tabligh akbar di Monas, memperbolehkan
minimarket menjual bir dan yang terakhir menistakan Al Qur’an membangkitkan
lagi akidah itu pada tataran perasaan.
Kita
harus sadari bahwa dewasa ini umat Islam banyak yang lalai dengan salah satu
pilar terkuat agama ini. Rasulullah saw bersabda :
إن أوثق
عرى الإيمان
أن تحب
في الله
وتبغض في
الله
Artinya
: “Sesungguhnya ikatan keimanan yang paling kuat adalah kamu mencitai karena
Allah dan membenci karena Allah.” (HR : Ahmad)
Ibnu
Taimiyah berkata, “Wajib untuk loyal (wala’) kepada wali-wali Allah yang
bertakwa dengan berbagai golongannya dan membenci orang kafir dan munafik
dengan berbagai golongannya.” (Majmu’ul Fatawa 28/578)
Imam
Ahmad bin Hanbal –rahimullah- jika
melihat orang Nasrani maka beliau menutup matanya, beliau ditanya alasan beliau
melakukan itu, beliau menjawab, “Saya tidak sanggup melihat orang yang
menyematkan kedustaan kepada Allah dan berdusta kepada-Nya.” (Thobaqot
Hanabilah 1/27)
Jika
seorang muslim tidak memahami akidah bara’ ini, tanpa disadari bisa saja dia
terseret kepada kecintaan kepada orang kafir. Yang hal ini lambat laun akan
menggerus keimanannya. Entah itu atas nama toleransi, pluralisme, sekuerisme
dan nama-nama lainnya. Oleh karena pentingnya akidah ini, Al-Quran hadir dengan
berbagai uslub (cara penyampaian) guna menanamkan akidah ini di sanubari umat
Islam. Di antara uslub-uslubnya adalah :
Al-Quran
Melarang Orang Beriman Untuk Mengangkat Orang Kafir Sebagai Wali
Di
dalam Surat Al-Maidah ayat 51, Allah SWT memperingatkan orang-orang beriman
agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali. Allah
berfirman :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا
لا تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ إِنَّ
اللَّهَ لا
يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
Artinya
: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengambil Yahudi dan Nasrani
sebagai wali-wali. Sebagian mereka wali bagi sebagian yang lainnya. Barangsiapa
dari kalian yang berwala kepada mereka sesungguhnya dia termasuk dari kalangan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.”
(Al-Maidah 51)
Ibnu
Katsir dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Allah SWT melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berwala’ kepada orang Yahudi dan Nasrani.
Yang mana mereka adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin, semoga Allah
membinasakan mereka. Kemudian Allah mengabarkan kepada orang beriman bahwa
orang kafir satu sama lain adalah wali bagi sebagian lainnya. Kemudian Allah
mengancam dan mewanti-wanti siapa yang melakukan hal tersebut (berwala kepada
Yahudi dan Nasrani) dengan berfirman, “Barangsiapa di antara kalian yang berwala
kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/132 ditahqiq
oleh Sami bin Muhammad Salamah, penerbit Dar Thoyyibah)
Ayat-ayat
senada di dalam Al-Quran cukup banyak, di antaranya firman Allah :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا
بِطانَةً مِنْ
دُونِكُمْ لَا
يَأْلُونَكُمْ خَبالاً
وَدُّوا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ
بَدَتِ الْبَغْضاءُ
مِنْ أَفْواهِهِمْ
وَما تُخْفِي
صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ
قَدْ بَيَّنَّا
لَكُمُ الْآياتِ
إِنْ كُنْتُمْ
تَعْقِلُونَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengambil teman kepercayaanmu
orang-orang selain kalian. Mereka tidak henti-hentinya memberikan madhorot
kepada kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata
kebencian dari mult mereka dan apa yang mereka sembunyikan di dalam dada mereka
lebih besar. Telah kami terangkan kepada kalian ayat-ayat kami, jika kalian
memahaminya,” (QS Ali Imran : 118)
Mengomentari
ayat di atas Imam Al-Qurtubi berkata,”Di dalam ayat ni terkandung beberapa
perkara. Pertama, Allah SWT menegaskan larangan condong kepada orang kafir.
Kedua, Allah SWT melarang orang beriman untuk menjadikan orang kafir, Yahudi
dan pengikut hawa nafsu sebagai penasehat yang menjadi teman bertukar pendapat
dan menyandarkan kepada mereka segala urusannya….maksud dari ‘Mereka tidak
henti-hentinya memberikan madhorot kepada kalian’ adalah mereka tidak akan
pernah merasa lelah untuk menimpakan kerusakan kepada kalian, walaupun secara
zahir mereka tidak memerangi kalian akan tetapi mereka tidak akan pernah
berhenti berusaha untuk bermakar dan melancarkan tipu daya terhadap kalian.”
(Tafsir Al-Jami’ li Ahkami Al-Quran 4/178, cetakan Dar Kutub Al-Mishriyah)
Allah
dan Rasul-Nya Bara’ dari Kesyirikan dan Orang Musyrik
وَأَذَانٌ مِّنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ
إِلَى النَّاسِ
يَوْمَ الْحَجِّ
الْأَكْبَرِ أَنَّ
اللَّهَ بَرِيءٌ
مِّنَ الْمُشْرِكِينَ
ۙ وَرَسُولُهُ
ۚ فَإِن
تُبْتُمْ فَهُوَ
خَيْرٌ لَّكُمْ
ۖ وَإِن
تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا
أَنَّكُمْ غَيْرُ
مُعْجِزِي اللَّهِ
ۗ وَبَشِّرِ
الَّذِينَ كَفَرُوا
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya
: “Dan inilah permakluman dari Allah dan rasul-Nya pada hari haji besar (hari
Arafah) bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrik. Kemudian jika kalian (orang musyrik) bertaubat, maka hal itu baik bagi
kalian. Namun jika kalian berpaling maka ketahuilah kalian tidak dapat
melemahkan Allah. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang kafir tentang azab yang pedih.” (QS At-Taubah
: 3)
Di
dalam ayat lain Allah berfirman :
قُلْ أَيُّ
شَيْءٍ أَكْبَرُ
شَهَادَةً ۖ
قُلِ اللَّهُ
ۖ شَهِيدٌ
بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ
ۚ وَأُوحِيَ
إِلَيَّ هَٰذَا
الْقُرْآنُ لِأُنذِرَكُم
بِهِ وَمَن
بَلَغَ ۚ
أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ
أَنَّ مَعَ
اللَّهِ آلِهَةً
أُخْرَىٰ ۚ
قُل لَّا
أَشْهَدُ ۚ
قُلْ إِنَّمَا
هُوَ إِلَٰهٌ
وَاحِدٌ وَإِنَّنِي
بَرِيءٌ مِّمَّا
تُشْرِكُونَ
Artinya,
“Katakanlah, ‘Siapa yang lebih kuat persaksiannya?. Katakanlah, ‘Allah. Dia
menjadi saksi antara aku dan kalian. Dan Al-Quran ini diwahyukan kepadaku
supaya aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang yang Al-Quran ini
sampai kepadanya. Apakah kalian mengakui bahwa ada ilah-ilah lain bersama
Allah? Katakanlah, ‘Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang satu dan sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kalian sekutukan.” (QS Al-An’am : 19)
Di
dalam ayat di atas, disebutkan bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
orang-orang musyrik. Ini menegaskan kepada umat Islam yang menjadikan Allah
sebagai Rabb dan Muhamad sebagai utusan-Nya untuk berada di barisan Allah dan
Rasul-Nya. Di antara caranya adalah dengan bara’ dari orang-orang musyrik dan
kemusyrikan.
Di
ayat pertama disebutkan bahwa Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari
orang-orang musyrik. Sementara di ayat kedua, Allah memerintahkan rasul-Nya
untuk berlepas diri dari sesembahan selain Allah atau amalan kemusyrikan. Kedua
redaksi ini bukan tanpa sebab. Karena bisa saja seseorang benci kepada
kemusyrikan tapi tidak benci kepada pelakunya karena sebab-sebab duniawi. Oleh
karena itu berlepas diri dari kemusyrikan harus disertai dengan berlepas diri
dari pelakunya.
Al-Quran
Menceritakan Contoh Keteladanan Ibrahim Dalam Ber-bara’ dari Kekufuran
Di
antara uslub yang dipakai Al-Quran dalam menjelaskan akidah bara terhadap
kekufuran adalah dengan menceritakan keteladanan Nabi Ibrahim dalam
mengaplikasikan bara’. Tidaklah sebuah kisah keteladanan diceritakan dalam
Al-Quran melainkan secara tidak langsung meminta umat Islam untuk
mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Kisah
bara’ Nabi Ibrahim diceritakan di banyak tempat di dalam Al-Quran di antaranya
di dalam firman berikut, :
قَدْ كَانَتْ
لَكُمْ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ فِي
إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ
مَعَهُ إِذْ
قَالُوا لِقَوْمِهِمْ
إِنَّا بُرَآءُ
مِنكُمْ وَمِمَّا
تَعْبُدُونَ مِن
دُونِ اللَّهِ
كَفَرْنَا بِكُمْ
وَبَدَا بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ
وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا
حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا
بِاللَّهِ وَحْدَهُ
إِلَّا قَوْلَ
إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ
لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ
وَمَا أَمْلِكُ
لَكَ مِنَ
اللَّهِ مِن
شَيْءٍ ۖ
رَّبَّنَا عَلَيْكَ
تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ
أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ
الْمَصِيرُ
Artinya,
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaumnya:
‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain
Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian serta telah nyata antara kami dan kalian
permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada
Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya; ‘Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu
(siksaan) Allah’. (Ibrahim berkata): ‘Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami
bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah
kami kembali. Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi
orang-orang kafir, dan ampunilah kami ya Rabb kami, sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Mumtahanah 4-5)
Uswah
secara bahasa berarti sifat terpuji yang di ikuti, sebagaimana disebutkan oleh
Imam Asy Syaukani di dalam Fathul Qadir. Maknanya, kisah Nabi Ibrahim yang
berlepas diri dari kekufuran dan kesyirikan kaumnya adalah sesuatu hal yang
terpuji yang layak untuk diikuti. Berlepas diri dari kekufuran yang dicontohkan
oleh Nabi Ibrahim harus disertai dengan sikap permusuhan dan kebencian.
Perintah
di Al-Quran Untuk Berjihad Melawan Orang Kafir
Salah
satu uslub Al-Quran dalam menjelaskan bara kepada orang kafir adalah begitu
banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan orang beriman untuk memerangi
orang-orang kafir. Di antaranya, :
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ جَاهِدِ
الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ
وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَبِئْسَ الْمَصِير
Artinya
: “Wahai Nabi, berjihadlah kamu meawan orang-orang kafir, munafik dan berlaku
kerasla kepada mereka. Tempat kembali mereka adalah jahannam dan itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS At-Taubah : 73)
فَلَا تُطِعِ
الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم
بِهِ جِهَادًا
كَبِيرًا
Artinya
: “Janganlah kamu menataati orang-orang kafir dan berjihadlah melawan mereka
dengan jihad yang besar.” (Al-Furqan : 52)
قَاتِلُواْ الَّذِينَ
لاَ يُؤْمِنُونَ
بِاللّهِ وَلاَ
بِالْيَوْمِ الآخِرِ
وَلاَ يُحَرِّمُونَ
مَا حَرَّمَ
اللّهُ وَرَسُولُهُ
وَلاَ يَدِينُونَ
دِينَ الْحَقِّ
مِنَ الَّذِينَ
أُوتُواْ الْكِتَابَ
حَتَّى يُعْطُواْ
الْجِزْيَةَ عَن
يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ
Artinya
: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian,
mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya
dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Islam), (Yaitu
orang-orang) yang telah diberikan kitab, hingga mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah : 29)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ
قَاتِلُواْ الَّذِينَ
يَلُونَكُم مِّنَ
الْكُفَّارِ وَلِيَجِدُواْ
فِيكُمْ غِلْظَةً
وَاعْلَمُواْ أَنَّ
اللّهَ مَعَ
الْمُتَّقِينَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar
kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan Ketahuilah,
bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS At-Taubah : 123)
Ayat-ayat
di atas adalah perintah kepada orang-orang beriman untuk berjihad melawan
segala bentuk kekufuran. Di dalam ayat lain jug dijelaskan bahwa jihad bisa
dilakukan dengan jihad dan harta. Sementara objek jihad bisa berupa kekafiran,
kemunafikan dan kesesatan.
Kesimpulan
Akidah
Wala’ (loyal) kepada keimanan dan bara’ (berlepas diri) dari kekufuran adalah
konsekuensi dari aplikasi kalimat tauhid. Al-Quran yang menjadi kitab suci umat
Islam menerangkan pentingnya akidah ini dengan berbagai cara. Ada kalanya
dengan larangan mengambil mereka sebagai tean setia, pengabaran bahwa Allah dan
Rasul-Nya berlepas diri dari kesyirikan dan orang musyrik, menceritakan
keteladanan para nabi dalam berlepas diri dari kekufuran kaumnya, perintah
berjihad, perintah hirjrah dan masih banyak lagi cara Al-Quran dalam menanamkan
akidah wala’ wal bara’ di hati umat Islam. Tidaklah Al-Quran seperti itu
melainkan adalah penekanan akan urgennya akidah tersebut dalam kehidupan
seorang muslim. Wallahu a’lam bishshowab
Penulis
: Miftahul Ihsan Lc/kiblat
Tidak ada komentar