Manjaniq.com-Jakarta
– Bulan September menjadi waktu yang tepat untuk mengingat kembali kekejaman
Partai Komunis Indonesia (PKI). Berkat propaganda pemerintah Orde Baru,
masyarakat kita sangat mengingat aksi kudeta PKI yang gagal pada 30 September
1965.
“Namun
pemberontakan di Madiun oleh PKI pada 18 September 1948 jarang yang mengetahui
seluk beluknya. Maka itu, komunitas sejarah Jejak Islam untuk Bangsa
(JIB)merasa penting menggelar acara diskusi ini,” ujar pegiat Jejak Islam untuk
Bangsa (JIB), Andi Ryansyah.
Menurutnya,
aksi pemberontakan PKI terjadi sesudah perjanjian Renville. Hasil perjanjian
itu memicu konflik berkepanjangan karena wilayah administratif Indonesia
tinggal wilayah Aceh, sebagian kecil wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Seluruh
kabinet tidak setuju tapi Perdana Mentri saat itu, Amir Syarifuddin ingkar, dia
tanda tangan. Dia beralasan kalau ia tidak tanda tangan, Belanda menyerang,
rakyat Indonesia banyak yang mati,” katanya di Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Jakarta pada Sabtu, (17/09).
Setelah
dilakukan penandatangan, Kabinet Amir Syarifuddin pecah, lalu bubar. Kemudian
Perdana Menterinya diganti M Hatta. Partai kiri mendukung kabinet Hatta, namun
Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI) tidak bergabung dengan kabinet
Hatta. Kemudian, Hatta pun tidak memasukkan partai kiri dalam kabinetnya.
“Karena
kecewa, sayap kiri jadi oposisi di kabinet hatta. Mereka bertujuan kalau tidak
bubar setidaknya dapat kursi. Mereka membuat koalisi namanya Front Demokrasi
Rakyat (FDR). Mereka punya progam untuk menjatuhkan kabinet Hatta,” jelasnya.
Ia
mengungkapkan, orang-orang kiri menggerakkan buruh, terutama di daerah
Delanggu, Klaten. Saat itu 20 ribu buruh kapas sedang demo karena upah yang
rendah.
“Ini
jadi celah buat FDR. Buruh tetap mogok, akhirnya pemerintah mau menaikkan upah,
FDR pun gagal. FDR juga punya dukungan tentara, Amir Syarifuddin saat jadi
Perdana Menteri, mensponsori para perwira sehingga dapat loyalitas dari
perwira-perwira, ” jelasnya.
Andy
juga mengatakan, saat keadaan ekonomi Indonesia buruk, Hatta memangkas militer
dari 400 ribu personel menjadi 6.000 saja. FDR menilai ini untuk memangkas
kekuatan orang orang kiri. “Tapi oleh Hatta ini disebut untuk menstabilkan
pengeluaran dan pemasukan negara, ” ulasnya.
Strategi
lain yang digunakan FDR adalah hubungan diplomatik dengan Uni Soviet, Suripno,
anggota PKI yang ada di Soviet menandatangani hubungan dengan Soviet. Karena
Soviet dianggap sebagai simbol anti imperialis.
“Padahal
ini berbahaya. Karena di perjanjian Renville, Indonesia dilarang melakukan
hubungan diplomatik dengan negara lain. Di sisi lain, ini menjadi lucu. Sebab,
Amir Syarifuddin saat itu ketua FDR, padahal dia yang menandatangani perjanjian
Renville,” ulasnya.
Pasukan
Siliwangi ke Jawa Tengah
Ia
juga menjelaskan, pasukan Siliwangi pindah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah
karena imbas perjanjian Renville. Namun pasukan Siliwangi tidak disambut baik
oleh FDR. Yang jadi klimaks antara FDR dan pasukan Siliwangi itu saat salah
satu perwira, Pak Sitarto dibunuh orang tak dikenal. Akhirnya Divisi Senopati
dan Divisi Siliwangi perang.
“Jenderal
Sudirman, A. H. nasution, Abi Manyu. Mengirim Gatot Subroto untuk mendamaikan
Senopati-Siliwangi. Setelah Solo kondusif, menjalar ke Madiun, karena tentara
kiri kuat. Tokoh Pemuda Sosialis (PESINDO), Sumarsono menggunakan dalih ada
penculikan buruh orang orang kiri. Dia menyebutnya tentara tengkorak (tentara
indonesia),” ujarnya.
Sebelum
melawan tentara ia datang ke Muso dan Amir Syarifuddin untuk minta restu.
Setelah mendapat persetujuan, akhirnya dia balik ke Madiun.
madiun1
Dia
melucuti Madiun. Pemerintah nggak siap, karena kejadian itu cepat. Pemerintah
sudah diambil alih. Tentara atau polisi dikalahkan. Muso kemudian membuat front
nasional. Bahkan pemberontakan di Madiun bisa menggoyang pemerintah pusat ini
juga puncak konflik politik, ” katanya.
Meskipun
telah melakukan berbagai pemberontakan, PKI tetap mengelak. Dia mengklaim bahwa
tragedi di Madiun bukan pemberontakan PKI. Sebab Muso tidak ada di sana.
“Tapi
perlu diingat bahwa sebelum melakukan pemberontakan, Sumarsono meminta izin
kepada Amir Syarifuddin dan Muso untuk melakukan pemberontakan, ” ucapnya.
Orang-orang
kiri juga menggunakan istilah Red Drive Proposal. “Jadi, tiga bulan sebelum
meletus, kata orang kiri, Sukarno-Hatta bertemu dengan Amerika dan mendapat Red
Drive Proposal untuk menghabisi orang kiri. Pada kenyataanya tidak ditemukan, ”
paparnya.
Aidit,
juga mengklaim bahwa Tragedi Madiun karena provokasi Hatta, Sukiman (menteri
kesehatan) dan M.Natsir (mentri penerangan) “Kenapa cuma bertiga? Bagi Aidit,
ini progam partai Masyumi. Padahal kan Hatta bukan anggota Masyumi, ” tuturnya.
Aidit
juga mengklaim bahwa tidak ada pembantaian ulama, pegawai negeri, tentara dan
umat islam. Sedangkan seorang Antropolog Amerika, Robert Jay mengungkapkan
sesuatu yang berlawanan.
“Mereka
itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang. Masjid dan madrasah
dibakar. Bahkan ulama dan santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu dibakar.
Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang
sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan.
Setelah itu rumah pemeluk islam dirampok dan dirusak, ” pungkas Andy sambil
membaca pernyataan Robert Jay.[kiblat]
Tidak ada komentar